Social Icons

Pages

Rabu, 31 Januari 2007

Bela Negara: Rasa atau Logika?



Keputusan Ibrahim Afellay pebola berbakat keturunan Maroko untuk memperkuat Belanda, bukan pilihan yang sederhana. Aku bisa memahami beratnya mengambil keputusan itu.

Di satu sisi memang Maroko adalah negara kedua orang tuanya. Jadi ikatan bathinya lebih kuat dari pada dengan Belanda. Kemudian bila meninjau peluangnya bisa terseleksi, maka dengan timnas Maroko lebih besar peluangnya dibanding bersaing tempat di tim Belanda. Sederhana saja karena di Maroko, SDM yang pandai main bola tidak sebanyak di Belanda.



Tapi di lain pihak, milih Belanda juga banyak untung dan kemudahannya. Bermain dengan timnas Belanda tidak perlu banyak bepergian dan buang waktu di jalan. Belum lagi kalau memikirkan perbedaan waktu antara Eindhoven dan Casablanca, yang bisa berpengaruh pada kondisi tubuh. Maklum Afellay bermain dan tinggal di Eindhoven.


Bermain untuk Belanda punya kelebihan lain, bisa bersaing dengan negara-negara besar bola dalam kejuaraanya. Jerman, Prancis, Italia, Spanyol di Piala Eropa dan penyisihan Piala Dunia yang secara sportif lebih menarik ketimbang ikut dengan kesebelasan Maroko yang termasuk dalam zona Afrika Utara. Yang kemungkinan lawan-lawannya tidak ‘menantang’ kalau di Eropa. Belum lagi budaya dan mentalitas bola yang sudah akrab dengannya.


Nah apa bedanya dengan belasan bakat bola keturunan Indonesia yang merumput di Belanda? Apakah mereka juga akan memilih Belanda daripada Indonesia?


Aku rasa kasusnya berbeda. Di samping tidak ada pilihan lain karena soal paspor. Untuk sekarang pemain yang sudah terlanjur pegang paspor Belanda ya harapannya hanya Belanda. Karena, sejauh aku tahu saat ini (31.01.2007) hanya sedikit atau mungkin Irfan Bachdim lah satu-satunya yang masih pegang paspor Indonesia, lainya Belanda semua. Kemudian kalau seandainya UU Indonesia berubah dan memberi kemungkinan pada warganya kelahiran luar negeri (LN) untuk mengambil kewarganegaraan ganda Indonesia dan Belanda, maka besar kemungkinan akan banyak yang tertarik untuk memperkuat timnas Merah Putih.


Alasannya karena bakat-bakat keturunan Indonesia di Belanda ini, kwalitasnya bukan dari ukuran papan paling atas Belanda. Kecuali dua nama Gio van Bronckhorst dan Denny Landzaat yang menurutku juga pas-pasan. Kecuali dua ini, tidak akan ada yang sampai bisa lolos seleksi kesebelasan Oranje. Paling tidak untuk 5 tahun ke depan, aku tidak melihat ada bakat keturunan Indon yang punya kwalitas sehebat Afellay atau Aissati satu lagi bakat muda keturunan Maroko.


Dari puluhan pebola muda keturunan Indonesia di Belanda itu pun mesti dikaji kembali sejauh mana mereka, walaupun menyandang nama Indonesia atau Ambon, mereka juga merasa orang Indonesia? Aku rasa untuk sebagian besar bakat keturunan Maluku di Belanda, tidak ada ikatan bathin sama sekali dengan Indonesia. Kebanyakan dari mereka sudah membaur dengan masyarakat Belanda, sehingga kurang tahu tentang Indonesia. Belum lagi kalau melihat informasi tentang sejarah dari opa dan oma bahwa mereka sampai di Belanda ini karena setengahnya terpaksa, karena ada gerakan kemerdekaan Indonesia.


Nah sampai sejauh mana bakat-bakat muda keturunan Maluku di Belanda ini bisa atau mau menyandang seragam negara yang telah mengusir leluhur mereka? Bisa saja mereka akhirnya mau juga pakai kaos Merah Putih, tapi itu adalah murni keputusan logika juga, bukan rasa. ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates